Rabu, 15 Juni 2011

Stasiun Merak

Membela Stasiun KA Merak!

Dalam buku panduan wisata Lonely Planet: Indonesia di halaman 98, ada satu-satunya pujian untuk infrastruktur di negeri ini. “Java has a good rail service… It connects with ferry to Bali (Ketapang), and with ferry to Sumatera (Merak)/ Pulau Jawa dilayani jaringan kereta yang baik… Terkoneksi dengan feri ke Bali (Pelabuhan Ketapang), dan feri ke Sumatera (Pelabuhan Merak)”.

Tapi mungkin, tidak lama lagi, gula-gula di buku “Lonely Planet” bakal terasa pahit.


Betapa tidak, Menteri BUMN Mustafa Abubakar, pada bulan Maret 2011 ini, memberi lampu hijau untuk perluasan lapangan parkir Pelabuhan Penyeberangan Merak. Dan efeknya, mungkin Stasiun Merak digeser keluar dari Merak, sehingga tiada lagi konektivitas antara kereta dan feri.

Inilah hantaman kedua bagi perkeretaapian di Merak, setelah beberapa bulan lalu akses masuk ke Stasiun Merak diperketat. Ketika itu, ribuan railfans, penggila kereta bereaksi keras. Reaksi serupa berulang Senin kemarin, setelah media mewartakan rencana “penggusuran” Stasiun Merak.

Nasib buruk yang bakal menimpa Stasiun Merak mengonfirmasikan, omong-kosong dengan angkutan intermoda kita. Bagaimana rakyat tertarik naik kereta, bila harus berjalan jauh dari stasiun untuk masuk ke feri? Bahkan bila ada kargo naik kereta, maka dengan penggeseran stasiun artinya akan ada double-handling, dengan biaya ekstra.

Pelebaran lapangan parkir Merak, juga menggelikan. Alih-alih menambah jumlah feri, atau re-grouping feri, ternyata idenya malah menambah lapangan parkir. Ini ibarat menyembunyikan kotoran di bawah karpet; menarik masuk truk untuk “tumplek-blek” di pelabuhan ketimbang antre di tol.

Jangan-jangan, nantinya takkan pernah ada investasi untuk pembelian feri-feri baru. Sebaliknya, lapangan parkir truk terus diperluas sehingga mendekati PLTU Suralaya. Jangan-jangan Merak hanyalah menjadi lapangan parkir yang sepi pada hari Senin-Kamis, dan ramai pada Jumat-Munggu.

Ironisnya, di pelabuhan lain, BUMN PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo II) di Tanjung Priok, malah memohon Wakil Menteri Perhubungan—dalam acara di Jakarta International Container Terminal, supaya pemerintah mempercepat pembangunan kereta pelabuhan. Ini supaya tak ada hambatan dalam perjalanan truk kontainer dari kawasan industri atau pergudangan menuju pelabuhan.

Dan seandainya Stasiun Merak jadi “digusur”, maka pemerintah ini tak ubahnya rezim Orde Baru. Rezim yang mengenyahkan kereta dari Pelabuhan Cirebon dan Tegal, misalnya, untuk memberi ruang transporter truk. Pemerintahan ini, bakal memperburuk daya saing bangsa ini.

Penggusuran stasiun dari Merak juga antitesis langkah Hindia Belanda, dalam mengoneksikan kereta dengan pelabuhan. Padahal jamak sekali di negara maju seperti Jepang, Belanda, dan Amerika, untuk mengombinasikan kereta dan kapal sebagai pengangkut barang-barang komoditas.

Akhirnya pula, penggusuran Stasiun Merak hanya mempertontonkan inkonsistensi pemerintah dalam memadukan angkutan intermoda. Yang kini sedang dirancang berbentuk tiket bersama antara Trans-Batik Solo, Kereta Prambanan Ekspress, dan Trans-Batik Jogja. Dibangun di sisi pulau lain, tapi dihancurkan di sisi lainnya.

Sebenarnya, pemerintah telah menyatakan, relokasi Stasiun Merak akan didekatkan degan Terminal Bus. Nantinya, penumpang langsung naik ke kapal melalui Terminal VI—yang belum dibangun, sih. Pemerintah menjanjikan, panjang gangway lebih pendek sehingga tak memberatkan jalan kaki penumpang.

Persoalannya, pemerintah kerap ingkar janji. Cetak biru sering diingkari. Sulit mempercayai apa pun tanpa bukti fisik di lapangan.

Sementara kita inginkan jaringan kereta api lebih menusuk hingga bibir dermaga. Terlebih, kita menginginkan adanya train-ferry, kapal feri pengangkut kereta sehingga jaringan kereta di Jawa terkoneksi dengan Sumatera, tanpa perlu repot-repot membangun Jembatan Selat Sunda.

Jadi saat ini, pertimbangkan dengan matang-matang relokasi Stasiun Merak, Tuan-Tuan…! (HARYO DAMARDONO)

--
foto: Stasiun Merak, diambil dari arah barat dari gangway menuju Dermaga III Merak
fotografer: haryo damardono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar