Keringat dingin bercucuran, lalu timbul rasa mual. Inilah kesan awal saat membaca Tokyo Subway Route Map di dinding Stasiun Tokyo, begitu turun dari Shinkansen rute Hiroshima-Tokyo. Jalur-jalur subway itu seolah saling bersinggungan, bertabrakan, tumpang tindih, sangat berbelit-belit. Akankah saya tersesat?
Buku Lonely Planet: Tokyo, City Guide belum-belum sudah meneror. Ditulis di halaman 44, “bahkan, warga Tokyo kerap bercanda bahwa tersesat di Tokyo sudah biasa”. Lanskap Tokyo memang tak geometris seperti kota-kota di Eropa dan Amerika Utara. Kendala bahasa, juga dikhawatirkan.
Namun, kekhawatiran itu sirna. Mengapa? Karena informasi juga tersedia dalam bahasa Inggris. Mulai cara membeli tiket, mencari jalur subway (kereta bawah tanah) atau moda transportasi lainnya, cara naik subway, diinformasikan sedetail-detailnya.
Ternyata sangat mudah menandai lokasi stasiun untuk turun dari kereta. Di dalam subway, ada layar monitor yang menginformasikan stasiun tujuan dan waktu tempuh dalam bahasa Jepang dan Inggris. Di jalur (line) tertentu, diumumkan nama stasiun dalam bahasa Inggris.
Bila pendengaran anda tak baik, ada banyak papan-papan nama di dinding stasiun, jadi mudah dibaca begitu kereta mengerem saat masuk stasiun. Mau lebih mudah? Cermati jadwal. Bila anda berangkat dari Stasiun Tokyo pukul 10.00, dan dijadwalkan tiba di Stasiun Shibuya pukul 10.19, saat anda melangkah turun pukul 10.19 itulah Shibuya!
Subway maupun jaringan KA jenis lain di Tokyo, juga sangat ramah bagi orang cacat. Jalur kuning dengan ketinggian berbeda (ridged guides), menuntun orang buta ke banyak tempat. Masih untuk orang buta, diperdengarkan siulan burung yang berbeda di tiap stasiun. Orang cacat juga dipermudah menuju stasiun bawah tanah dengan lift.
Tokyo telah lama mengakrabi KA. Sejak tahun 1885, KA Japan Railway (JR) Yamanote Line, yang melingkari Tokyo dengan 29 stasiunnya telah beroperasi. KA itu melaju di atas permukaan tanah, seperti Kereta Rel Listrik (KRL) Blue Line di Jakarta.
Dan sejak 30 Desember 1927, subway pertama melaju antara Stasiun Asakusa dan Ueno, dioperasikan oleh Tokyo Underground Railway Company. Di tahun yang sama, kita masih mengandalkan tram listrik Menteng - Harmoni, atau Menteng - Kramat - Senen - Gunung Sahari - Kota bawah. Tram-tram yang saat ini bahkan menghilang.
Kini ada 9 jalur subway pada Tokyo Metro Line (Ginza, Marunouchi, Hibiya, Tozai, Chiyoda, Yurakucho, Hanzomon, Namboku, dan Fukutoshin Line), serta 4 jalur subway Toei Line (Asakusa, Mita, Shinjuku, dan Oedo Line), belum termasuk JR Yamanote, Tokyo Monorail (Tokyo-Bandara Haneda).
Jalur KA ada yang melingkar, sedangkan jalur subway ada yang horizontal (utara-selatan), vertikal (timur-barat). Tak seperti subway di London, New York, atau Moskow; jalur subway Tokyo ada yang berbentuk Z (seperti lambang Zorro), sehingga mampu menjangkau sudut-sudut kota.
Sebagian warga Tokyo tak bermasalah dengan rumitnya jalur KA. Sebab di telepon genggam mereka, dicangkok perangkat lunak khusus jalur KA, yang juga dapat diakses di http://www.tokyo-subway.net. Contohnya, dari Stasiun Tokyo ke Stasiun Shibuya ada lima kombinasi rute. Waktu tempuh berkisar 18-23 menit, tarifnya antara 190 Yen (Rp 20.900) hingga 1.430 Yen (Rp 157.000). Dapat dipilih rute cepat atau bertarif termurah?
Bagi warga Tokyo maupun pelancong, KA adalah transportasi yang tarifnya sangat rasional. Taksi di Tokyo langsung menguras dompet saat anda mendaratkan pantat di kursi, sebab argo langsung menunjuk angka 700 yen (Rp 77.000). Parkir mobil di Tokyo senilai 84 dollar Amerika per hari, atau sekitar Rp 35.000 per jam.
Budaya
Persinggungan warga Tokyo dengan KA, juga mempengaruhi budayanya. Naluriah, warga Tokyo mengaitkan kediaman dengan stasiun. Saat ditanya lokasi rumah, akan dijawab dekat stasiun Awajicho dan keluar di gerbang B5.
Ikuti petunjuk itu, naiklah ke permukaan bumi. Tak jauh dari gerbang subway, dapat dijumpai peta wilayah. Tertera informasi jalan, kantor polisi, kantor pos, rumah sakit, lokasi parkir, hotel, bank, toilet umum, halte bus, halte taksi, hingga lokasi evakuasi bencana. Sulit dibayangkan, bila sampai ada orang tersesat di Tokyo saat mencari rumah atau gedung tertentu.
Keberadaan jalur KA juga jadi penanda lokasi. Mau ke Kuil Senso (Senso-Ji), naik Ginza Line ke Asakusa keluar di Gerbang 1, atau naik Toei Asakusa Line ke Asakusa keluar di gerbang A5. Mau ke Shibuya, pusat fashion Tokyo naiklah JR Yamanote atau subway Ginza Line.
Di atas JR Yamanote, lumrah dijumpai remaja berkostum aneh menuju Harajuku. Nenek-nenek berkimono menuju Kuil Shinto Meiji Jingu, sedangkan perempuan modis dengan rok mini dan hak tingginya biasa naik subway Ginza Line menuju pertokoan Ginza.
Ketika subway makin dalam, seperti Fukutoshin line yang merayap 40 meter dibawah tanah (setara 10 tingkat gedung dijungkirkan ke dalam tanah), tentu warga Tokyo harus jalan kaki lebih jauh ke perut bumi. Namun, jalan kaki sudah membudaya. Tak heran, warga Tokyo langsing-langsing, dan berpotensi lebih sehat dari kebanyakan warga Jakarta.
Budaya menghargai waktu, boleh jadi ditularkan oleh tepat waktunya perjalanan KA. Jadwal KA tak basa-basi. Bukan hitungan 30 menit, 45 menit, atau satu jam, tapi 18 menit, 21 menit, serta 23 menit. Artinya, jadwal KA dijamin takkan meleset satu menit pun. Saya takkan heran, jika ternyata seluruh jam di Tokyo berputar pada menit yang sama. Sebab bila anda terlambat semenit, KA pun telah melenggang pergi.
Jakarta
Kapan Jakarta, mampu menyamai transportasi massal seperti jaringan KA di Tokyo? Sulit dijawab. Masalahnya, pembangunan transportasi massal tak sekedar menuntut investasi besar, tapi juga seberapa besar komitmen pemimpin kota Jakarta?
Kita tahu, mass rapid transit (MRT) Jakarta beroperasi tahun 2015. Tapi 17 rangkaian MRT itu, hanya berdaya angkut 200.000-300.000 orang per hari. Andai revitalisasi PT KA Commuter Jabotabek (KCJ) berhasil, daya angkutnya bertambah 1,5 juta orang. Jadi total daya angkut hanya 1,8 juta orang.
Di Tokyo, tahun lalu saja, JR Yamanote mengangkut 3,8 juta orang per hari. Di London yang berpenduduk 8 juta orang—bila ingin contoh lain, KA London Underground mengangkut 3 juta orang per hari. New York City Subway mengangkut 5,2 juta orang per hari (2008).
Jakarta, harus berpikir dan bertindak revolusioner jika ingin mengejar ketertinggalan, bila ingin mengurai kemacetan. Bila masalahnya dana, alokasikan dana lebih cerdas untuk transportasi. Warga lebih butuh KA, MRT, dan subway, daripada bunga di taman kota, lampu hias, atau patung di perempatan jalan.
Lantas, bentuk bank tanah lalu bangun rumah susun atau apartemen dekat stasiun. Segera larang, rumah horizontal (landed-house) dekat stasiun. Tujuannya, mendekatkan lebih banyak tempat tinggal dengan stasiun, supaya warga pun memilih KA menuju kantor.
Jujur, banyak investor tertarik bangun KA di Jakarta. Namun mereka menunggu sikap positif pemerintah, agar proyek transportasi massal terlihat menguntungkan. Caranya? Hapus rencana enam tol dalam kota, yang kontradiktif dengan pola transportasi massal. Umumkan rencana pembatasan jumlah dan usia kendaraan pribadi, naikkan pajak mobil, hingga tarif parkir. (HARYO DAMARDONO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar