Jumat, 22 Oktober 2010

Bisnis Inka



Inka, Revitalisasi Kereta, dan Diversifikasi Bisnis

Tahun 2002-2006, PT Industri Kereta Api atau Inka berada di titik nadir. Saat itu, akibat kondisi keuangan yang seret, Inka diancam akan digabung dengan PT Kereta Api. Gaji direksi, staf, hingga pesuruh dipotong 10-34 persen dan dibayar bertahap dua kali dalam sebulan. Inka pun didorong mendiversifikasi bisnisnya.

Inka, yang didirikan tahun 1981, memang mengalami pasang surut. Hal itu seiring dengan pasang surutnya bisnis kereta api (KA), atau tepatnya bisnis PT KA, sebagai satu-satunya operator KA di negeri ini. Di seluruh dunia, tidak hanya Indonesia, bisnis operator KA sangat
rentan. Ketatnya persaingan dengan moda transportasi lain, yang lebih murah dan lebih cepat, menjadi tantangan utama KA.

Namun, di Eropa, persaingan antarmoda transportasi tidak membuat KA tersingkir. KA masih menjadi transportasi terbaik dan ramah lingkungan, yang disubsidi pemerintah dalam jumlah besar. Namun, situasi itu tidak terjadi di Indonesia. Ketidakjelasan visi transportasi telah membuat nasib KA di Indonesia "hidup enggan mati tak mau".

Sulit untuk membuat KA bisa bersaing dengan moda transportasi lain. Untuk perjalanan Jakarta-Yogyakarta, misalnya, dengan tiket penerbangan Rp 350.000, masyarakat relatif memilih "terbang" 45 menit daripada 9-10 jam terguncang-guncang di dalam KA, yang harga tiketnya Rp 200.000. Begitu pula dengan KA Jakarta-Bandung, yang tergeser travel.

Memang, Departemen Perhubungan tak tinggal diam dan membatasi travel. Namun, ada travel liar berpelat nomor hitam yang menggerus pangsa pasar KA. Tatkala KA kehilangan pelanggan, berarti pendapatan PT KA berkurang. Ini berdampak pada investasi. PT KA sulit untuk menambah rangkaian kereta apinya. Akibatnya, 2002-2006 PT Inka tidak mendapat pesanan KA dan menghadapi krisis.

"Maka dari itu, saya sangat berharap revitalisasi perkeretaapian berhasil. Sebab, ketika PT KA sehat, pesanan banyak masuk ke Inka, dan perusahaan kami sehat pula," kata Direktur Utama PT Inka Roos Diatmoko.

Selama revitalisasi 2008-2010, pemerintah menjanjikan Rp 19 triliun. Bila konsisten dengan janjinya, pada 2008-2009 minimal dikucurkan Rp 12 triliun, tetapi realitanya baru Rp 7 triliun.
Meski demikian, Inka bisa bernapas lega karena Ditjen Perkeretaapian memesan KA ekonomi. Tahun 2006, omzet Inka Rp 270 miliar dan 2007 mencapai Rp 370 miliar. Tahun 2008 meroket menjadi Rp 540 miliar, dan 50 persen di antaranya adalah dari pesanan Ditjen Perkeretaapian. Tahun 2009, omzet PT Inka diprediksi Rp 700 miliar.

Bandingkan dengan tahun 1999 yang dianggap tahun puncak bisnis Inka di dekade lalu, omzetnya hanya Rp 200 miliar. Dengan omzet yang terus meningkat, ada optimisme bahwa kerugian yang diderita Inka sepanjang 2002-2006 dapat tertutupi oleh omzet Inka
hingga 2009.

Meningkatnya omzet apakah menjadi menandakan revitalisasi telah berhasil. Pengamat KA, Taufik Hidayat, dan Ketua Umum Masyarakat Pencinta Kereta Api (Maska) Hendrowijono menyangsikan revitalisasi telah berhasil. "Revitalisasi sekadar proyek, tak membangun sistem apa pun," kata Taufik.
Apabila tujuannya membangun keandalan perkeretaapian, revitalisasi diyakini tak membawa perubahan apapun hingga 2010. Dengan demikian, saat pada 2011 tak ada lagi program revitalisasi, tak ada jaminan jumlah kecelakaan KA akan menurun.
Jika itu terjadi, KA tidak akan menjadi moda transportasi andalan. Bahkan, bisa jadi makin terdesak dan tidak ada ekspansi usaha. Padahal saat Inka limbung, nasib 832 karyawan dipertaruhkan. Tidak hanya itu, puluhan pekerja industri manufaktur, seperti pekerja pabrik rangka jendela di Bandung dan pekerja pabrik komponen karet di Madiun, terkena akibatnya.

Diversifikasi bisnis
Diversifikasi bisnis menjadi alternatif agar terhindar dari "nasib buruk" itu. Bila menyambangi pabrik Inka, ketika berjalan lurus melewati perkantoran, ada gedung besar di sisi kanan. Di dalam gedung itu dapat dijumpai mobil kecil kapasitas lima orang warna oranye, yang
diberi nama dagang "Kancil".

Harga Kancil pernah dipatok Rp 32,1 juta, relatif murah dibanding Bajaj produksi India. Banyak industri kecil. Komponen lokal Kancil mencapai 80 persen. Kancil adalah hasil pembelajaran Inka dan mitranya saat krisis. Meski diversifikasi bisnis INKA baru menyumbang 5 persen dari seluruh pendapatan. Diproyeksikan, di masa depan, diversifikasi bisnis bisa menyumbang 30 persen dari total pendapatan Inka.

Produsen KA Jepang, Nippon Sharyo, pada 2007 pendapatannya dari pembuatan sarana KA mencapai 57,8 persen, sisanya dari konstruksi, properti, dan pembuatan struktur baja seperti jembatan.

Diversifikasi bisnis juga dikerjakan Inka dengan membuat trem listrik. Di Superblok Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta, pada pertengahan 2009, mulai dioperasikan trem di trek sepanjang 1,5 km. Ini bisa menjadi cikal bakal trem di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Inka juga membangun railbus untuk digunakan di Palembang. Railbus efektif untuk jarak dekat dan biaya pembangunan prasarananya tak mahal sehingga harga tiket bisa relatif murah.
Bus gandeng atau articulated bus juga telah diproduksi Inka. Bus yang dikaroseri Rahayu Sentosa itu mengadopsi mesin Jerman dan siap mengisi jalur busway di Jakarta. Harganya Rp 3 miliar per unit, lebih murah dari bus gandeng Komodo produksi PT Asian Auto International seharga Rp 4 miliar per unit, atau bus gandeng China yang harganya Rp 3,7 miliar per unit.

Dengan segala capaian itu, tidak berlebih bila dikatakan Inka telah siap membangun transportasi dari hulu ke hilir. Masyarakat dapat naik Kancil dari rumah ke jalur trem, lalu naik trem, berpindah naik bus gandeng Inka, lalu naik kereta rel listrik atau kereta rel diesel produksi Inka menuju sub-urban. Untuk antarkota, dapat naik KA kelas Argo, yang juga produksi Inka.

Saat Inka telah mampu, akankah bangsa ini memberdayakannya? Diperlukan kemauan politik untuk mengembangkan industri perkeretaapian dalam negeri, dengan mengembangkan perkeretaapian sebagai transportasi yang handal. Terlebih, kini saatnya untuk menghargai capaian anak negeri ini. Buat apa memesan bus transjakarta dari China jika PT Inka membuatnya dengan harga lebih murah. Meski Nippon Sharyo memproduksi KA yang jauh lebih murah misalnya, tapi Perancis tetap memesan buatan Alstom.
Memesan KA dari Inka, bukan fanatik, tetapi mengembangkan sikap mandiri dan sekaligus menghargai karya bangsa sendiri. Tentu, Inka mesti meningkatkan kualitas produksinya. Inka harus menjamin bahwa tak ada lagi keluhan buruknya kualitas dempul dan cat atau kereta rel diesel elektrik tiba-tiba kehilangan daya atau mogok.
Selain dari diversifikasi produk, Inka juga mengharapkan order perawatan. Sebanyak 30 persen dari omzet bisnis produsen KA terkemuka Alstom adalah perawatan. Andai Pasal 114 Ayat (5) UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian mengharuskan perawatan sarana KA di Inka bukan di balai yasa atau depo, tentu Inka tak pusing seperti sekarang. Namun, hal itu dapat "memanjakan" Inka. Kemanjaan hanya akan memerosotkan kualitas kerja.... (HARYO DAMARDONO)

Sabtu, 16 Oktober 2010

Shinkansen


“Saudara Tua” Beri Kami Shinkansen….

Hari ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan membuka Indonesian Jepang Expo 2008. Di salah satu sudut Expo, ditampilkan simulator kereta peluru Shinkansen yang telah beroperasi di Jepang sejak Oktober 1964. Mungkinkah, republik ini mengoperasikan Shinkansen?

Pada 10 Agustus 1867, satu rangkaian kereta api berangkat dari Stasiun Semarang Kemijen menuju Tanggung sejauh 25 kilometer. Dioperasikan Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij, itulah kereta api (KA) pertama di Indonesia. Lima tahun kemudian, Oktober 1872, barulah KA pertama beroperasi di Jepang, antara Tokyo dan Yokohama. Jadi, pemerintah kolonial Hindia Belanda menggungguli Kerajaan Jepang dalam pembangunan Kereta.

Dan ternyata, Hindia Belanda juga lebih cepat membangun trem listrik. Tahun 1899, Batavia Electrische Tram Maatschappij telah mengoperasikan trem listrik, sedangkan di Tokyo, trem listrik baru ada tahun 1903.

Tapi Oktober 1964, Jepang melejit meninggalkan Indonesia dengan mulai mengoperasikan kereta peluru Tokaido Shinkansen. Kereta peluru itu melaju antara Tokyo- Shin Osaka (515 km) dengan kecepatan 270 km per jam.

Teknologi berkembang. Bila tahun 1964, Tokyo-Shin Osaka ditempuh dalam empat jam kini dua jam 30 menit. Bila tahun 1964, dijalankan 60 kereta per hari, tahun 2007 dijalankan 301 kereta per hari.

Tiap hari, Tokaido Shinkansen mengangkut 375.000 penumpang, lebih banyak 100.000 penumpang dari KA Jabotabek. Tokaido Shinkansen pun telah mengangkut 4,5 milir orang, lebih banyak dari akumulasi penumpang KA super cepat di seluruh dunia.

Shinkansen memang mumpuni. Hasil riset Japan Railway Central memamerkan keunggulan Tokaido Shinkansen untuk jarak dibawah 750 km, dibanding pesawat. Karena Jakarta-Surabaya berjarak 683 km, kiranya Shinkansen juga lebih unggul.

Contohnya, bila lama perjalanan Shinkansen dari Tokyo ke Osaka (552,6 km) adalah dua jam 25 menit, ternyata total perjalanan pesawat adalah dua jam 30 menit. Terbang dari Tokyo-Osaka memang hanya satu jam, tapi dari pusat kota ke bandara dan proses check-in butuh waktu satu jam 30 menit.

Dalam hal emisi, Shinkansen series 700 Nozomi menghasilkan 4,8 kg-CO2 per kursi, sedangkan Boeing 777-200 menghasilkan 48,4 kg-CO2 per kursi. Ketika bumi makin sakit, transportasi berkelanjutan seperti Shinkansen harus kian mendapat tempat.

Hasrat PT Inka
Produsen kereta PT Industri Kereta Api (INKA) pun, sangat getol mempromosikan Shinkansen. INKA seolah mengingatkan, KA jarak jauh hanya diminati masyarakat bila waktu tempuhnya kian singkat.

Bila Shinkansen terbangun, Jakarta-Surabaya cukup dua jam 20 menit. Dan INKA, merasa mampu membangun di markasnya di Madiun, Jawa Timur. Setidaknya, membangun badan (carbody), bogie (komponen roda dan suspensi), dan interior. Sementara mesin, transmisi, kompresor, hingga pantograph, dapat diimpor.

Mengapa Shinkansen? Mengapa bukan Les Trains Grande Vitesse (TGV) produksi Perancis, atau Inter City Express yang digunakan di Jerman? Sebab INKA ”dekat” dengan Nippon Sharyo, produsen Shinkansen.

Sejak didirikan 29 Agustus 1981, INKA memang telah dibimbing Nippon Sharyo. Dijadikannya KA Jepang sebagai kiblat, adalah ekses dari pinjaman Jepang melalui Overseas Economic Cooperation Fund senilai 525 juta dollar Amerika, awal 1980-an.

Dari pinjaman Jepang itu, dibuatlah 400 gerbong barang. Sembari memproduksi, berlangsung alih teknologi. Pekerja generasi pertama INKA pun dikirim ke Jepang, diantaranya Roos Diatmoko, yang kini menjabat Direktur Utama INKA..

Bila kajian road map perkeretaapian Indonesia direalisasikan, maka KA super cepat beroperasi mulai 2020. Kajian itu disusun Japan Transportation Consultants, didanai Japan Bank for International Coorporation.

Andai KA super cepat jadi dibangun, INKA akan bermitra dengan Nippon Sharyo memeroduksi Shinkansen tipe N-700. Sekali jalan, Shinkansen N-700 mengangkut 1.323 penumpang, setara 12 pesawat Boeing 737-300, yang kini biasa terbang di Indonesia.

Akankah Dibangun?
Sulit menjawab kapan KA super cepat mulai dibangun, sebab bangsa ini tak punya visi jelas membangun transportasi. ”Lihat, apakah ada investasi serius Indonesia di perkeretaapian? Tidak ada,” ditegaskan Pierre-Damien Jourdain, saat bertemu Kompas, dua bulan lalu.

Jourdain bekerja untuk Alstom, produsen KA terkemuka Perancis. Tahun lalu, Alstom memecahkan rekor KA tercepat yakni 574,8 km per jam. Dua kali lebih cepat dari Tokaido Shinkansen!

Setelah membangun KA di Korea dan Singapura, Alstom membuka kantor di Bandung, satu kota dengan kantor pusat PT KA. Tapi sejauh ini, proposal Jourdain yang menawarkan KA supercepat AGV berkecepatan 360 kilometer per jam, tak ditanggapi.

Pesan dibalik kedatangan Alstom adalah, produsen KA super cepat telah hadir namun sikap kita tetap tak jelas. Padahal, mimpi ada sejak 1990-an. Studi Perancis Societe Nationale des Chemins de Fer (SCNF) telah pula mengestimasikan 6,14 miliar dollar Amerika untuk KA super cepat Jakarta-Surabaya.

PT KA bermimpi serupa. Julison Arifin, Direktur Pengembangan Usaha PT KA menyatakan, kalau jadi, stasiun KA super cepat dibangun di Manggarai, Jakarta dan Gubeng, Surabaya. Lahan PT KA di dua tempat itu, masing-masing antara 20-30 persen.

Agar harga tiket tak terlalu mahal, biaya operasional disubsidi pendapatan bisnis non-inti dari dua stasiun KA super cepat. Direncanakan, 50 persen pendapatan dari tiket, 30 persen dari Stasiun Manggarai, dan 20 persen dari bisnis di Stasiun Gubeng.

Ketika kita masih bermimpi dam mengkaji, Februari 2007, Vietnam telah mengumumkan pembangunan KA super cepat Hanoi-Ho Chi Minh City (1.630 kilometer). Biaya investasi, sebesar 33 miliar dollar Amerika.

Memang tidak murah membangun KA super cepat. Selain harus mengimpor teknologi tingkat tinggi yang belum kita kuasai, prasarana juga harus dibangun dari nol. Supaya tiada perlintasan sebidang, harus dibangun jembatan layang Jakarta-Surabaya.

Belum lagi persinyalan, instalasi listrik, pusat kontrol, hingga perangkat satelit. Dibutuhkan pula, investasi pendidikan masinis dan kru, serta sosialisasi bagi pengguna agar perjalanan KA lancar. Karena sistem nyaris sempurna, rata-rata keterlambatan per Shinkansen adalah 20 detik!

Walau tak murah, menimbang besarnya biaya eksternal moda transportasi lain, KA super cepat layak dibangun. Siapa pembangunnya? Tentu inisiasi pemerintah, lalu menggandeng swasta.

Teknologi mana? Patut dipertimbangkan Nippon Sharyo dengan Shinkansen-nya. Sebab kerja sama dengan Nippon Sharyo, musti dipandang sebagai konsekuensi pendirian INKA dengan pengaruh teknologi Jepang. Bila ingin maju, kita harus konsisten dengan pilihan masa silam.

Setelah melihat kondisi KA Jabotabek tahun 2000, Kaisar Akihito pun menghibahkan KRL AC seri 6000 sebanyak 72 unit. Siapa tahu, kini pemerintah Jepang mau meminjamkan uangnya.

Bila Jepang mau dan berniat membantu membangunkan Shinkansen, tentu saja hal itu merupakan kado termanis bagi hubungan Indonesia-Jepang. (HARYO DAMARDONO)