Rabu, 08 Juni 2011

Balai Yasa Pulubrayan

Balai Yasa Atau Reksadana?

Balai Yasa Pulubrayan, di jantung Kota Medan, Sumatera Utara, kini merana. "Rumah sakit" kereta itu kusam, atap bocor di sana-sini, peralatan kerja pun sudah tua. Sekilas, tak jauh beda dengan gudang besi tua. Rumput liar yang merambat ke berbagai sudut pun menimbulkan pertanyaan, "masihkah balai yasa ini diperhatikan?"

Buruknya kondisi balai yasa (BY) itu cermin redupnya perkeretaapian di Tanah Deli.
Pendiri Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), yang membuka jalur rel pertama dari Medan-Belawan (22 kilometer) tahun 1886-1888, mungkin tak menyangka, perkeretaapian di Deli justru redup di masa kemerdekaan.

Hadirnya kereta di Tanah Deli berawal dari Jacobus Nienhuys. Bulan Maret 1864, tembakau yang dituai Nienhuys diakui Pasar Lelang Rotterdam sebagai tembakau terbaik di dunia. Hal itu menyedot modal dan pekerja ke Sumatera Utara.

Namun ternyata, tak seluruh Tanah Deli cocok untuk tembakau sehingga dibukalah perkebunan karet dan kelapa sawit. Saat volume produksi meningkat, transportasi menjadi kendala. Kolonial Belanda memberikan konsesi pembangunan jalur kereta menuju Pelabuhan Belawan sehingga komoditas itu bisa dilayarkan menuju Eropa.

Kini, tembakau Deli berkurang produksinya, banyak lahan tembakau yang beralih menjadi perumahan. Sebaliknya, perkebunan kelapa sawit meluas.

Kegemilangan minyak sawit mentah (crude oil palm/CPO) sayang tak diikuti kemajuan KA. Berdasarkan Peta Potensi Angkutan CPO Sumut tahun 2008, enam perkebunan yang mampu dilayani kereta memproduksi 2,61 juta ton, tetapi hanya mampu diangkut 0,62 juta ton.
Ada andil pemerintah dalam merosotnya perkeretaapian di Sumut. Terbatasnya kekuatan jembatan buatan DSM membuatnya hanya mampu dilalui lokomotif BB produksi sebelum tahun 1970-an dengan kapasitas tarik 13-14 gerbong.

Padahal, lokomotif baru buatan General Electric atau General Motor mampu menarik 15-20 gerbong barang. Sebenarnya, tugas pemerintah membangun jembatan.

Merosotnya perkeretaapian di Sumut patut diduga juga akibat kurangnya perhatian PT Kereta Api. Hal itu setidaknya tampak dari bobroknya Balai Yasa Pulubrayan, yang masih menggunakan crane Hengelo buatan Belanda tahun 1930, dan semakin sedikitnya jumlah pekerja, yaitu dari 137 orang pada 2005, dan tahun 2008 tinggal 92orang.

"Berapa sih uang untuk menambal atap balai yasa? Bila atap bocor, tak hanya merusak alat kerja, tetapi juga melemahkan semangat kerja pegawai PT Kereta Api di sana. Mereka akan berpikir, jangan-jangan Bandung (kantor pusat PT KA), tak lagi peduli," ujar pengamat KA dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Hidayat.



Investasi reksadana
Pengusutan dugaan korupsi atas investasi PT KA senilai Rp 100 miliar ke PT Optima Kharya Capital Management (Optima) oleh Direktorat Reserse Kriminal Polda Jawa Barat, membuka realita karut-marutnya praktik investasi PT KA.



Dalam perjanjian pengelolaan investasi, yang ditandatangani Selasa, 24 Juni 2008, oleh Direktur Utama PT KA (direktur lama) Ronny Wahyudi dan Dirut Optima Harjono Kesuma dimuat indikasi imbal hasil investasi 11,5 persen, dari nilai investasi Rp 100 miliar itu.



Terlepas boleh tidaknya investasi reksadana oleh pemerintah sebagai pemegang saham atau terbukti tidaknya korupsi, bagi pemerhati kereta, Moch S Hendrowijono, investasi dana KA di sektor lain menyakitkan.



Hendro menilai investasi di sektor finansial lebih didorong oleh upaya memenuhi target laba. "Padahal di dunia, tak ada perusahaan KA yang untung murni. Di Perancis, Belgia, Belanda, dan Australia, 55-60 persen pendapatan dari subsidi pemerintah," katanya.



Kabar baik dari investasi disektor finansial itu, dana investasi Rp 100 miliar segera dikembalikan berbentuk utang-piutang antara Optima dan PT KA. Kesepakatan perdata itu dicapai setelah melibatkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.



"Ketika uang itu kembali, harus untuk memperbaiki balai yasa, beli lokomotif, dan gerbong," kata Hendro. Dia berharap PT KA belajar dari kesalahan, dan memaksimalkan dana bagi perawatan dan pengembangan KA.



Selama ini, keberpihakan PT Kereta Api terhadap perawatanmemang rendah sehingga tak mengherankan bila bisnis PT KA sulit maju karena terus terbentur urusan teknis.
Dari Laporan Manajemen Perusahaan PT KA Tahun 2008, misalnya, diketahui investasi peningkatan keandalan perawatan hanya Rp 25,26 miliar. Di antaranya untuk membeli mesin bubut di BY Manggarai dan Tegal, pendeteksi keretakan di Divisi Regional I Sumut, pembelian lifting jack, pengungkit di dipo Jakarta, Tegal, dan Maos.



Kalau saja dana PT KA Rp 100 miliar, pada tahun anggaran 2008 tidak diinvestasikan dalam reksadana, tetapi untuk penguatan perawatan seperti di BY Pulubrayan, mestinya ada persoalan teknis yang dituntaskan. Terlebih ada tambahan dana perawatan hingga 400 persen.
Kalau soal teknis dituntaskan, paling tidak, tiada lagi 40 kali lokomotif mogok atau keterlambatan kedatangan KA barang hingga 52 menit. Layanan kereta pun akan makin kompetitif, dibanding angkutan jalan raya.



Banyak pihak peduli PT KA, tetapi lebih penting lagi, manajemen peduli pada diri mereka sendiri dengan menempatkan dana-dana di posisi yang tepat. (HARYO DAMARDONO, November 2009)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar