Kamis, 16 Juni 2011

LRT Kuala Lumpur


Inilah Light Rail Transit di Kuala Lumpur, Malaysia. Dibuat oleh Bombardier, LRT ini didesain driverless, tanpa masinis. Wah, kalau terjadi coallision, tabrakan, siapa yang dikambing-hitamkan ya? he...

Terbayangkan, bila LRT--yang ringan seperti ini, dibangun di tengah-tengah jalan layang non tol dari Antasari-Blok M langsung tancap ke HI dan Kota, dan Kampung Melayu-Tanah Abang langsung tancap sampai Pondok Kopi dan Bekasi? ah, jangan bermimpi, wong pemimpin kota Jakarta yang ahli saja tak berpikir ke sana...


fotografer: haryo damardono, 2009

Rabu, 15 Juni 2011

Stasiun Merak

Membela Stasiun KA Merak!

Dalam buku panduan wisata Lonely Planet: Indonesia di halaman 98, ada satu-satunya pujian untuk infrastruktur di negeri ini. “Java has a good rail service… It connects with ferry to Bali (Ketapang), and with ferry to Sumatera (Merak)/ Pulau Jawa dilayani jaringan kereta yang baik… Terkoneksi dengan feri ke Bali (Pelabuhan Ketapang), dan feri ke Sumatera (Pelabuhan Merak)”.

Tapi mungkin, tidak lama lagi, gula-gula di buku “Lonely Planet” bakal terasa pahit.


Betapa tidak, Menteri BUMN Mustafa Abubakar, pada bulan Maret 2011 ini, memberi lampu hijau untuk perluasan lapangan parkir Pelabuhan Penyeberangan Merak. Dan efeknya, mungkin Stasiun Merak digeser keluar dari Merak, sehingga tiada lagi konektivitas antara kereta dan feri.

Inilah hantaman kedua bagi perkeretaapian di Merak, setelah beberapa bulan lalu akses masuk ke Stasiun Merak diperketat. Ketika itu, ribuan railfans, penggila kereta bereaksi keras. Reaksi serupa berulang Senin kemarin, setelah media mewartakan rencana “penggusuran” Stasiun Merak.

Nasib buruk yang bakal menimpa Stasiun Merak mengonfirmasikan, omong-kosong dengan angkutan intermoda kita. Bagaimana rakyat tertarik naik kereta, bila harus berjalan jauh dari stasiun untuk masuk ke feri? Bahkan bila ada kargo naik kereta, maka dengan penggeseran stasiun artinya akan ada double-handling, dengan biaya ekstra.

Pelebaran lapangan parkir Merak, juga menggelikan. Alih-alih menambah jumlah feri, atau re-grouping feri, ternyata idenya malah menambah lapangan parkir. Ini ibarat menyembunyikan kotoran di bawah karpet; menarik masuk truk untuk “tumplek-blek” di pelabuhan ketimbang antre di tol.

Jangan-jangan, nantinya takkan pernah ada investasi untuk pembelian feri-feri baru. Sebaliknya, lapangan parkir truk terus diperluas sehingga mendekati PLTU Suralaya. Jangan-jangan Merak hanyalah menjadi lapangan parkir yang sepi pada hari Senin-Kamis, dan ramai pada Jumat-Munggu.

Ironisnya, di pelabuhan lain, BUMN PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo II) di Tanjung Priok, malah memohon Wakil Menteri Perhubungan—dalam acara di Jakarta International Container Terminal, supaya pemerintah mempercepat pembangunan kereta pelabuhan. Ini supaya tak ada hambatan dalam perjalanan truk kontainer dari kawasan industri atau pergudangan menuju pelabuhan.

Dan seandainya Stasiun Merak jadi “digusur”, maka pemerintah ini tak ubahnya rezim Orde Baru. Rezim yang mengenyahkan kereta dari Pelabuhan Cirebon dan Tegal, misalnya, untuk memberi ruang transporter truk. Pemerintahan ini, bakal memperburuk daya saing bangsa ini.

Penggusuran stasiun dari Merak juga antitesis langkah Hindia Belanda, dalam mengoneksikan kereta dengan pelabuhan. Padahal jamak sekali di negara maju seperti Jepang, Belanda, dan Amerika, untuk mengombinasikan kereta dan kapal sebagai pengangkut barang-barang komoditas.

Akhirnya pula, penggusuran Stasiun Merak hanya mempertontonkan inkonsistensi pemerintah dalam memadukan angkutan intermoda. Yang kini sedang dirancang berbentuk tiket bersama antara Trans-Batik Solo, Kereta Prambanan Ekspress, dan Trans-Batik Jogja. Dibangun di sisi pulau lain, tapi dihancurkan di sisi lainnya.

Sebenarnya, pemerintah telah menyatakan, relokasi Stasiun Merak akan didekatkan degan Terminal Bus. Nantinya, penumpang langsung naik ke kapal melalui Terminal VI—yang belum dibangun, sih. Pemerintah menjanjikan, panjang gangway lebih pendek sehingga tak memberatkan jalan kaki penumpang.

Persoalannya, pemerintah kerap ingkar janji. Cetak biru sering diingkari. Sulit mempercayai apa pun tanpa bukti fisik di lapangan.

Sementara kita inginkan jaringan kereta api lebih menusuk hingga bibir dermaga. Terlebih, kita menginginkan adanya train-ferry, kapal feri pengangkut kereta sehingga jaringan kereta di Jawa terkoneksi dengan Sumatera, tanpa perlu repot-repot membangun Jembatan Selat Sunda.

Jadi saat ini, pertimbangkan dengan matang-matang relokasi Stasiun Merak, Tuan-Tuan…! (HARYO DAMARDONO)

--
foto: Stasiun Merak, diambil dari arah barat dari gangway menuju Dermaga III Merak
fotografer: haryo damardono

Kamis, 09 Juni 2011

KRDI Aceh


KRDI untuk Aceh ini, saya potret November 2008 di Pabrik INKA di Madiun, Jawa Timur. Adakah yang tahu kelanjutan kisahnya? Kok belum jalan-jalan, atau sudah dibesi-tuakan? he.. he..

FYI, jalur kereta di Aceh dirancang dengan lebar spoor 1.435 mm, sementara lebar spoor di Indonesia 1.067 mm. Apakah Aceh dianggap bukan Indonesia? Wah, terlalu memprovokasi nih... Saya hanya ingin tahu bagaimana kelanjutan proyek kereta di Aceh, kok tidak dioperasikan juga? (HARYO DAMARDONO)

Rabu, 08 Juni 2011

Terowongan Lampegan

Melongok Terowongan Lampegan…. Meski cat dinding terowongan itu terbilang baru, namun warnanya dicoba untuk dipertahankan seperti aslinya. Berkelir putih, dengan sedikit imbuhan warna hitam; itulah warna asli sebagaimana dipertunjukkan oleh foto-foto dari zaman penjajahan Belanda dahulu. Itulah terowongan Lampegan!

Di atas lobang terowongan itu tertulis angka 1879-1882. Memang di masa itulah, pemerintah kolonial Hindia Belanda mempekerjakan tenaga-tenaga pribumi untuk menggali lobang menembus gunung. Tepatnya, bukan Hindia Belanda sih, namun Perusahaan Kereta Api Negara Staatspoorwegen, yang menginisiasi pembangunan terowongan itu.

Terowongan itu pun dibangun bertepatan saat Staatspoorwegen membangun jalur kereta Sukabumi-Lampegan-Cianjur. Jalur itu pun baru dioperasikan pada tanggal 10 Mei 1883. Baru kemudian, jalur kereta api antara Cianjur-Padalarang-Bandung dioperasikan pada 10 September 1884.

Lampegan konon berasal dari kalimat dalam bahasa Belanda “Lamp a gan, nyalakan lampu”. Mirip kata penyebutan jalan Marlioboro yang konon merupakan serapan dari kata Marlborough.
Terowongan Lampegan ini terletak di Kecamatan Cibeber, perbatasan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi. Pada tanggal 8 Februari 2001, terowongan ini runtuh, namun kini terowongan sepanjang 687 meter telah selesai direnovasi.

Ditemui di Lampegan, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Tundjung Inderawan mengatakan, tahun 2010 silam mengucurkan Rp 8 miliar. “Terowongan itu sudah selesai direnovasi. Meski masih ada rembesan air, yang sudah saya perintahkan untuk diperbaiki,” katanya.

Agus Imansyah, pentolan dari komunitas KRL Mania mengatakan, para pecinta kereta yang tergabung dalam Komunitas Edan Sepur telah menyusuri terowongan itu bahkan di waktu malam.

Turis Jepang
Ternyata, sekelompok turis dari Jepang, telah pula dipandu oleh pengusaha batu bara Achmad Rizal untuk menyusuri terowongan itu. Di hari-hari ini, keselamatan saat menyusuri terowongan itu memang sangat terjamin, karena belum ada perjalanan kereta reguler di lintas tersebut.

Sebenarnya, ada terowongan yang lebih panjang di Jawa Barat. Yakni Terowongan Sasaksaat yang juga dibangun oleh Staatsspoorwagen antara tahun 1902-1903, dengan panjang 949 meter. Terowongan itu di jalur Purwakarta dan Padalarang di Km 143 + 144.

Persoalannya, tiap hari setidaknya ada 44 kereta api yang melintas secara reguler. Dengan demikian, bagaimana bila ada peminat wisata menyusuri terowongan? Pastinya, akan dihadang oleh tingginya lalu lintas kereta di terowongan itu.

Kabar baiknya, Rizal berniat menghidupkan satu lokomotif uap dari museum transportasi di Taman Mini Indonesia Indah, untuk melayani jalur kereta wisata dari Stasiun Sukabumi hingga Stasiun Lampengan—hanya 20 meter di timur Lampengan. Nantinya, kereta lokomotif uap itu akan menarik 3-4 gerbong kereta kayu.

Jalur kereta antara Sukabumi hingga Lampegan pun, menyuguhkan pemandangan sangat indah. Di kanan-kiri terdapat sawah, terkadang diimbuhi pemandangan pegunungan di kejauhan maupun ngarai yang dilewati oleh sungai-sungai berair deras.

Assistant Rail Business Development Egis International, Deddy Herlambang mengatakan, sudah dua tahun dibutuhkan untuk menghidupkan lokomotif uap untuk melayani jalur kereta Sukabumi-Lampegan.

Padahal kata Rizal, andai izin sudah keluar untuk merestorasi lokomotif uap itu maka hanya dalam enam bulan, kereta wisata itu akan dapat beroperasi. Nantinya, perjalanan itu dimulai dari Stasiun Sukabumi.

Sementara itu, meski sama-sama berakhir di Stasiun Lampegan, PT KAI dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada bulan Juli 2011 berencana mengoperasikan Kereta Wisata Argo Peuyeum untuk menyusuri ruas Bandung-Lampegan berjarak 58 kilometer.

Nantinya, potensi kereta wisata itu rencananya disatukan dengan wisata budaya situs megalitikum Gunung Pandang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Situs yang disebut-sebut sebagai situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara itu, hanya berjarak delapan kilometer dari Stasiun Lampegan, menembus perkebunan teh.
Ayo, kapan ke Terowongan Lampegan….? (HARYO DAMARDONO, Mei 2011)

Balai Yasa Pulubrayan

Balai Yasa Atau Reksadana?

Balai Yasa Pulubrayan, di jantung Kota Medan, Sumatera Utara, kini merana. "Rumah sakit" kereta itu kusam, atap bocor di sana-sini, peralatan kerja pun sudah tua. Sekilas, tak jauh beda dengan gudang besi tua. Rumput liar yang merambat ke berbagai sudut pun menimbulkan pertanyaan, "masihkah balai yasa ini diperhatikan?"

Buruknya kondisi balai yasa (BY) itu cermin redupnya perkeretaapian di Tanah Deli.
Pendiri Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), yang membuka jalur rel pertama dari Medan-Belawan (22 kilometer) tahun 1886-1888, mungkin tak menyangka, perkeretaapian di Deli justru redup di masa kemerdekaan.

Hadirnya kereta di Tanah Deli berawal dari Jacobus Nienhuys. Bulan Maret 1864, tembakau yang dituai Nienhuys diakui Pasar Lelang Rotterdam sebagai tembakau terbaik di dunia. Hal itu menyedot modal dan pekerja ke Sumatera Utara.

Namun ternyata, tak seluruh Tanah Deli cocok untuk tembakau sehingga dibukalah perkebunan karet dan kelapa sawit. Saat volume produksi meningkat, transportasi menjadi kendala. Kolonial Belanda memberikan konsesi pembangunan jalur kereta menuju Pelabuhan Belawan sehingga komoditas itu bisa dilayarkan menuju Eropa.

Kini, tembakau Deli berkurang produksinya, banyak lahan tembakau yang beralih menjadi perumahan. Sebaliknya, perkebunan kelapa sawit meluas.

Kegemilangan minyak sawit mentah (crude oil palm/CPO) sayang tak diikuti kemajuan KA. Berdasarkan Peta Potensi Angkutan CPO Sumut tahun 2008, enam perkebunan yang mampu dilayani kereta memproduksi 2,61 juta ton, tetapi hanya mampu diangkut 0,62 juta ton.
Ada andil pemerintah dalam merosotnya perkeretaapian di Sumut. Terbatasnya kekuatan jembatan buatan DSM membuatnya hanya mampu dilalui lokomotif BB produksi sebelum tahun 1970-an dengan kapasitas tarik 13-14 gerbong.

Padahal, lokomotif baru buatan General Electric atau General Motor mampu menarik 15-20 gerbong barang. Sebenarnya, tugas pemerintah membangun jembatan.

Merosotnya perkeretaapian di Sumut patut diduga juga akibat kurangnya perhatian PT Kereta Api. Hal itu setidaknya tampak dari bobroknya Balai Yasa Pulubrayan, yang masih menggunakan crane Hengelo buatan Belanda tahun 1930, dan semakin sedikitnya jumlah pekerja, yaitu dari 137 orang pada 2005, dan tahun 2008 tinggal 92orang.

"Berapa sih uang untuk menambal atap balai yasa? Bila atap bocor, tak hanya merusak alat kerja, tetapi juga melemahkan semangat kerja pegawai PT Kereta Api di sana. Mereka akan berpikir, jangan-jangan Bandung (kantor pusat PT KA), tak lagi peduli," ujar pengamat KA dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Hidayat.



Investasi reksadana
Pengusutan dugaan korupsi atas investasi PT KA senilai Rp 100 miliar ke PT Optima Kharya Capital Management (Optima) oleh Direktorat Reserse Kriminal Polda Jawa Barat, membuka realita karut-marutnya praktik investasi PT KA.



Dalam perjanjian pengelolaan investasi, yang ditandatangani Selasa, 24 Juni 2008, oleh Direktur Utama PT KA (direktur lama) Ronny Wahyudi dan Dirut Optima Harjono Kesuma dimuat indikasi imbal hasil investasi 11,5 persen, dari nilai investasi Rp 100 miliar itu.



Terlepas boleh tidaknya investasi reksadana oleh pemerintah sebagai pemegang saham atau terbukti tidaknya korupsi, bagi pemerhati kereta, Moch S Hendrowijono, investasi dana KA di sektor lain menyakitkan.



Hendro menilai investasi di sektor finansial lebih didorong oleh upaya memenuhi target laba. "Padahal di dunia, tak ada perusahaan KA yang untung murni. Di Perancis, Belgia, Belanda, dan Australia, 55-60 persen pendapatan dari subsidi pemerintah," katanya.



Kabar baik dari investasi disektor finansial itu, dana investasi Rp 100 miliar segera dikembalikan berbentuk utang-piutang antara Optima dan PT KA. Kesepakatan perdata itu dicapai setelah melibatkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.



"Ketika uang itu kembali, harus untuk memperbaiki balai yasa, beli lokomotif, dan gerbong," kata Hendro. Dia berharap PT KA belajar dari kesalahan, dan memaksimalkan dana bagi perawatan dan pengembangan KA.



Selama ini, keberpihakan PT Kereta Api terhadap perawatanmemang rendah sehingga tak mengherankan bila bisnis PT KA sulit maju karena terus terbentur urusan teknis.
Dari Laporan Manajemen Perusahaan PT KA Tahun 2008, misalnya, diketahui investasi peningkatan keandalan perawatan hanya Rp 25,26 miliar. Di antaranya untuk membeli mesin bubut di BY Manggarai dan Tegal, pendeteksi keretakan di Divisi Regional I Sumut, pembelian lifting jack, pengungkit di dipo Jakarta, Tegal, dan Maos.



Kalau saja dana PT KA Rp 100 miliar, pada tahun anggaran 2008 tidak diinvestasikan dalam reksadana, tetapi untuk penguatan perawatan seperti di BY Pulubrayan, mestinya ada persoalan teknis yang dituntaskan. Terlebih ada tambahan dana perawatan hingga 400 persen.
Kalau soal teknis dituntaskan, paling tidak, tiada lagi 40 kali lokomotif mogok atau keterlambatan kedatangan KA barang hingga 52 menit. Layanan kereta pun akan makin kompetitif, dibanding angkutan jalan raya.



Banyak pihak peduli PT KA, tetapi lebih penting lagi, manajemen peduli pada diri mereka sendiri dengan menempatkan dana-dana di posisi yang tepat. (HARYO DAMARDONO, November 2009)



Balai Yasa Pengok

Lokomotif Yang Terengah-Engah

Waktu seolah berhenti di Balai Yasa (BY) Lokomotif Yogyakarta. Didirikan Nederland Indische Spoorweg Maatschapij (NIS) tahun 1914, saat ini di BY Yogya masih digunakan peralatan tempo dulu. Misalnya, masih ada crane, katrol buatan tahun 1914. Kompresor buatan tahun 1963. Mungkinkah lokomotif kita handal?

Untuk membubut roda kereta saja, masih diandalkan mesin buatan tahun 1938. Kapasitas bubutnya 1-2 as roda KA per hari. “Balai Yasa di Malaysia lebih hebat. Mereka sanggup membubut 6 as roda per hari,” kata John Roberto, General Manager BY Yogya.

Kalah dari Malaysia? Sungguh memilukan. Sebab jaringan rel di sana 1.000 kilometer, hanya seperempat dari jaringan rel Indonesia. BY Malaysia juga sangat “berkuasa”, mampu “mengandangkan” KA hingga perbaikannya benar-benar sempurna. Dampaknya, kondisi KA Malaysia sangat handal.

Tak hanya tuanya peralatan, teknisi juga terbatas. Regenerasi terhenti. Padahal beberapa tahun lagi, puluhan pekerja akan pensiun. Kini, dari 455 pegawai BY Yogya, sebanyak 110 orang (24 persen) berusia 51-55 tahun, dan sebanyak 152 orang (33 persen) berusia 41-50 tahun.

Teknisi muda yang harusnya menjadi andalan, sangat sedikit. Hanya ada 7 orang usia 18-20 tahun (2 persen), dan hanya 17 orang berusia 21-30 tahun (4 persen). Regenerasi diupayakan dengan magang calon teknisi selama dua tahun, tapi sayangnya, mereka kerap gagal jadi pegawai tetap. Sebab tak lulus tes bahasa Indonesia dan Inggris serta pengetahuan umum! Apa perlu tes itu?

PT KAI juga terlalu sedikit mengalokasikan dana pemeliharaan. Bila ingin lokomotif “sehat” sampai 20 tahun, idealnya dana pemeliharaan per tahun harus 5 persen (atau Rp 1 miliar) dari harga lokomotif Rp 20 miliar. Realitasnya, dana pemeliharaan akhir (PA) hanya Rp 600 juta. Artinya, biaya pemeliharaan per tahun Rp 150 juta, sebab PA dikerjakan tiap empat tahun (atau tiap 650.000 km).

Dengan fakta itu, tak heran bila kehandalan lokomotif masih rendah. Gangguan lokomotif pada semester I tahun 2009 mencapai 606 kali, padahal target maksimalnya 526 kali. Lokomotif tak hanya mogok di dipo saat mesin dihidupkan, tapi juga mogok saat melaju di lintas (jalur KA).

Pada semester I 2009 itu, gangguan lokomotif utamanya adalah, sistem kelistrikan berupa tenaga lemah (26,4 persen), sistem udara tekan atau sistem pengereman (12,2 persen), rusaknya governor atau pembatas kecepatan mesin (11,1 persen), dan gangguan traksi motor (10,98 persen).

Kehandalan Lokomotif
Mengapa kehandalan lokomotif penting? Pertama, ini adalah urusan keselamatan. Dalam filosofi chain of events, mogoknya lokomotif memperbesar peluang tabrakan KA. Mengapa? Di negara ini, sinyal sering rusak, dan parahnya masinis belum 100 persen mematuhi persinyalan. Ringkasnya, KA yang mogok berpotensi besar “dihajar” dari belakang.

Kedua, ketidakhandalan lokomotif merugikan konsumen, terkait penambahan waktu tempuh. Contohnya, bila hanya 5 Motor Traksi dari 6 MT yang hidup maka KA sulit menanjak sebab daya mesinnya kurang. Akibatnya, Jakarta-Bandung yang normalnya 3 jam harus ditempuh 3,5 jam.

Maka jangan meratap, bila di lintas Jakarta-Bandung, penumpang pindah dari KA ke travel. Kita tahu, PT KA telah berupaya maksimal dengan memangkas tarif, memasang “colokan” laptop dan telepon genggam. Tapi kecepatan, tetap yang utama.

Lokomotif, sejatinya penanda kehandalan sebuah perusahaan KA. Lokomotif adalah penarik dari kereta penumpang dan gerbong barang. Ketika PT KA merupakan satu-satunya perusahaan KA di Indonesia, lokomotif mereka juga adalah penggerak ekonomi bangsa.





Nyatanya usia lokomotif PT KA sangat tua. Dari 98 lokomotif yang ditangani BY Yogya dalam setahun, ada yang mulai dinas tahun 1954 (BB 201). Sementara lokomotif berkelir putih, yang hilir-mudik menarik rangkaian KA Ekonomi (tipe CC 201 nomor produksi 01-38) telah mulai tugas sejak 1977.


Ketika kunci dari reabilitas lokomotif sudah tua adalah pemeliharaan, ada persoalan klasik yang tak terpecahkan, yakni lambatnya pengadaan suku cadang. Ini persis seperti lambatnya pemeliharaan maupun pembangunan rel akibat pola tahun anggaran yang mirip pola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Tak heran, komponen lokomotif yang rusak kerap diganti barang lama, atau mengais sisa komponen di gudang.


“Semua keluhan itu, adalah hal usang. Dari dulu juga dikeluhkan hal serupa. Tapi, mengapa tak pernah ada perbaikan,” kata Taufik Hidayat, pengamat KA dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dia menegaskan, nyaris pula tak ada inovasi pemeliharaan di BY Yogya.


Ironisnya, masih ada kelemahan-kelemahan minor. Para teknisi mengaku terkadang tak selalu mampu memahami mesin hingga detail karena buku manual lokomotif berbahasa Inggris, dan mereka tak terlalu menguasai bahasa itu. Transfer teknologi pun, masih minim.


Ada kelemahan PT KAI di sini, ada kekurangterbukaan produsen KA dalam proses alih teknologi, tetapi ternyata juga ada ketidakpedulian regulator. Ternyata, aparat pemerintah juga jarang sekali menginjakan kaki di BY Yogya. Lantas dimana fungsi pengawasan? Seriuskah pembuatan sertifikat laik operasi?


Namun kita harus optimis BY Yogya mampu berubah. Kuncinya adalah, melibatkan banyak pihak untuk membantunya. Jangan sampai pula ada pemikiran untuk membubarkan BY Yogya, lalu menyerahkan pemeliharaan lokomotif ke produsen KA. Sebab mau dikemanakan teknisi-teknisi kita? Mengapa tak sekalian membubarkan fakultas teknik mesin….? (HARYO DAMARDONO, Agustus 2009)

Subway Tokyo

Mendamba Subway Tokyo….

Keringat dingin bercucuran, lalu timbul rasa mual. Inilah kesan awal saat membaca Tokyo Subway Route Map di dinding Stasiun Tokyo, begitu turun dari Shinkansen rute Hiroshima-Tokyo. Jalur-jalur subway itu seolah saling bersinggungan, bertabrakan, tumpang tindih, sangat berbelit-belit. Akankah saya tersesat?




Buku Lonely Planet: Tokyo, City Guide belum-belum sudah meneror. Ditulis di halaman 44, “bahkan, warga Tokyo kerap bercanda bahwa tersesat di Tokyo sudah biasa”. Lanskap Tokyo memang tak geometris seperti kota-kota di Eropa dan Amerika Utara. Kendala bahasa, juga dikhawatirkan.


Namun, kekhawatiran itu sirna. Mengapa? Karena informasi juga tersedia dalam bahasa Inggris. Mulai cara membeli tiket, mencari jalur subway (kereta bawah tanah) atau moda transportasi lainnya, cara naik subway, diinformasikan sedetail-detailnya.


Ternyata sangat mudah menandai lokasi stasiun untuk turun dari kereta. Di dalam subway, ada layar monitor yang menginformasikan stasiun tujuan dan waktu tempuh dalam bahasa Jepang dan Inggris. Di jalur (line) tertentu, diumumkan nama stasiun dalam bahasa Inggris.


Bila pendengaran anda tak baik, ada banyak papan-papan nama di dinding stasiun, jadi mudah dibaca begitu kereta mengerem saat masuk stasiun. Mau lebih mudah? Cermati jadwal. Bila anda berangkat dari Stasiun Tokyo pukul 10.00, dan dijadwalkan tiba di Stasiun Shibuya pukul 10.19, saat anda melangkah turun pukul 10.19 itulah Shibuya!


Subway maupun jaringan KA jenis lain di Tokyo, juga sangat ramah bagi orang cacat. Jalur kuning dengan ketinggian berbeda (ridged guides), menuntun orang buta ke banyak tempat. Masih untuk orang buta, diperdengarkan siulan burung yang berbeda di tiap stasiun. Orang cacat juga dipermudah menuju stasiun bawah tanah dengan lift.


Tokyo telah lama mengakrabi KA. Sejak tahun 1885, KA Japan Railway (JR) Yamanote Line, yang melingkari Tokyo dengan 29 stasiunnya telah beroperasi. KA itu melaju di atas permukaan tanah, seperti Kereta Rel Listrik (KRL) Blue Line di Jakarta.


Dan sejak 30 Desember 1927, subway pertama melaju antara Stasiun Asakusa dan Ueno, dioperasikan oleh Tokyo Underground Railway Company. Di tahun yang sama, kita masih mengandalkan tram listrik Menteng - Harmoni, atau Menteng - Kramat - Senen - Gunung Sahari - Kota bawah. Tram-tram yang saat ini bahkan menghilang.


Kini ada 9 jalur subway pada Tokyo Metro Line (Ginza, Marunouchi, Hibiya, Tozai, Chiyoda, Yurakucho, Hanzomon, Namboku, dan Fukutoshin Line), serta 4 jalur subway Toei Line (Asakusa, Mita, Shinjuku, dan Oedo Line), belum termasuk JR Yamanote, Tokyo Monorail (Tokyo-Bandara Haneda).


Jalur KA ada yang melingkar, sedangkan jalur subway ada yang horizontal (utara-selatan), vertikal (timur-barat). Tak seperti subway di London, New York, atau Moskow; jalur subway Tokyo ada yang berbentuk Z (seperti lambang Zorro), sehingga mampu menjangkau sudut-sudut kota.


Sebagian warga Tokyo tak bermasalah dengan rumitnya jalur KA. Sebab di telepon genggam mereka, dicangkok perangkat lunak khusus jalur KA, yang juga dapat diakses di http://www.tokyo-subway.net. Contohnya, dari Stasiun Tokyo ke Stasiun Shibuya ada lima kombinasi rute. Waktu tempuh berkisar 18-23 menit, tarifnya antara 190 Yen (Rp 20.900) hingga 1.430 Yen (Rp 157.000). Dapat dipilih rute cepat atau bertarif termurah?


Bagi warga Tokyo maupun pelancong, KA adalah transportasi yang tarifnya sangat rasional. Taksi di Tokyo langsung menguras dompet saat anda mendaratkan pantat di kursi, sebab argo langsung menunjuk angka 700 yen (Rp 77.000). Parkir mobil di Tokyo senilai 84 dollar Amerika per hari, atau sekitar Rp 35.000 per jam.

Budaya
Persinggungan warga Tokyo dengan KA, juga mempengaruhi budayanya. Naluriah, warga Tokyo mengaitkan kediaman dengan stasiun. Saat ditanya lokasi rumah, akan dijawab dekat stasiun Awajicho dan keluar di gerbang B5.


Ikuti petunjuk itu, naiklah ke permukaan bumi. Tak jauh dari gerbang subway, dapat dijumpai peta wilayah. Tertera informasi jalan, kantor polisi, kantor pos, rumah sakit, lokasi parkir, hotel, bank, toilet umum, halte bus, halte taksi, hingga lokasi evakuasi bencana. Sulit dibayangkan, bila sampai ada orang tersesat di Tokyo saat mencari rumah atau gedung tertentu.


Keberadaan jalur KA juga jadi penanda lokasi. Mau ke Kuil Senso (Senso-Ji), naik Ginza Line ke Asakusa keluar di Gerbang 1, atau naik Toei Asakusa Line ke Asakusa keluar di gerbang A5. Mau ke Shibuya, pusat fashion Tokyo naiklah JR Yamanote atau subway Ginza Line.


Di atas JR Yamanote, lumrah dijumpai remaja berkostum aneh menuju Harajuku. Nenek-nenek berkimono menuju Kuil Shinto Meiji Jingu, sedangkan perempuan modis dengan rok mini dan hak tingginya biasa naik subway Ginza Line menuju pertokoan Ginza.


Ketika subway makin dalam, seperti Fukutoshin line yang merayap 40 meter dibawah tanah (setara 10 tingkat gedung dijungkirkan ke dalam tanah), tentu warga Tokyo harus jalan kaki lebih jauh ke perut bumi. Namun, jalan kaki sudah membudaya. Tak heran, warga Tokyo langsing-langsing, dan berpotensi lebih sehat dari kebanyakan warga Jakarta.


Budaya menghargai waktu, boleh jadi ditularkan oleh tepat waktunya perjalanan KA. Jadwal KA tak basa-basi. Bukan hitungan 30 menit, 45 menit, atau satu jam, tapi 18 menit, 21 menit, serta 23 menit. Artinya, jadwal KA dijamin takkan meleset satu menit pun. Saya takkan heran, jika ternyata seluruh jam di Tokyo berputar pada menit yang sama. Sebab bila anda terlambat semenit, KA pun telah melenggang pergi.



Jakarta
Kapan Jakarta, mampu menyamai transportasi massal seperti jaringan KA di Tokyo? Sulit dijawab. Masalahnya, pembangunan transportasi massal tak sekedar menuntut investasi besar, tapi juga seberapa besar komitmen pemimpin kota Jakarta?


Kita tahu, mass rapid transit (MRT) Jakarta beroperasi tahun 2015. Tapi 17 rangkaian MRT itu, hanya berdaya angkut 200.000-300.000 orang per hari. Andai revitalisasi PT KA Commuter Jabotabek (KCJ) berhasil, daya angkutnya bertambah 1,5 juta orang. Jadi total daya angkut hanya 1,8 juta orang.


Di Tokyo, tahun lalu saja, JR Yamanote mengangkut 3,8 juta orang per hari. Di London yang berpenduduk 8 juta orang—bila ingin contoh lain, KA London Underground mengangkut 3 juta orang per hari. New York City Subway mengangkut 5,2 juta orang per hari (2008).


Jakarta, harus berpikir dan bertindak revolusioner jika ingin mengejar ketertinggalan, bila ingin mengurai kemacetan. Bila masalahnya dana, alokasikan dana lebih cerdas untuk transportasi. Warga lebih butuh KA, MRT, dan subway, daripada bunga di taman kota, lampu hias, atau patung di perempatan jalan.


Lantas, bentuk bank tanah lalu bangun rumah susun atau apartemen dekat stasiun. Segera larang, rumah horizontal (landed-house) dekat stasiun. Tujuannya, mendekatkan lebih banyak tempat tinggal dengan stasiun, supaya warga pun memilih KA menuju kantor.


Jujur, banyak investor tertarik bangun KA di Jakarta. Namun mereka menunggu sikap positif pemerintah, agar proyek transportasi massal terlihat menguntungkan. Caranya? Hapus rencana enam tol dalam kota, yang kontradiktif dengan pola transportasi massal. Umumkan rencana pembatasan jumlah dan usia kendaraan pribadi, naikkan pajak mobil, hingga tarif parkir. (HARYO DAMARDONO)